Berita Bethel
Penulis: Pram (15/10/2015)

Pendidikan Karakter Anak


Pendidikan Karakter Anak merupakan implementasi tugas keluarga dan gereja. Dalam keluarga Kristen, pastinya tugas mendidik dan mengembangkan karakter anak adalah tanggung jawab dari orang tua. Mereka adalah pribadi yang lebih dewasa dalam rumah tangga yang mampu mengarahkan hendak menuju kemana “karakter” anak-anak mereka dikemudian hari kelak.



Pada prinsipnya karakter anak terbentuk melalui pola asuh orang tua, dengan memberlakukan mereka dalam kasih sayang, cinta kasih dan juga pengasuhan yang benar, maka anak-anak dipastikan akan tumbuh dalam karakter yang positif.



Pendidikan karakter bagi anak-anak menjadi sangat penting sebab ada tantangan yang besar dalam kehidupan zaman ini yang mengancam nilai-nilai kehidupan dan masa depan anak. Diantara tantangan tersebut yakni adanya pergulatan mempertahankan nilai-nilai yang benar, dan juga derasnya upaya-upaya dari luar yang hendak “membinasakan” sikap dan tingkah laku anak-anak kita.



Adanya kecenderungan situasi yang perlu diwaspadai dalam konteks kehidupan masa kini dapat dijelaskan dalam berbagai ragam. Misalnya saja kemerosotan moral anak bangsa, disana-sini kita dapat melihat begitu banyaknya hal-hal yang buruk terjadi, moral anak-anak kita miris dan membawa kehancuran baik hidup masa kini dan yang akan datang.



Thomas Lickona - seorang profesor pendidikan dari Cortland University - mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai karena jika tanda-tanda ini sudah ada, maka itu berarti bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran.



Tanda-tanda yang dimaksud adalah : (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2)penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas. (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, (9) membudayanya ketidakjujuran, dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.



Jika dicermati, ternyata kesepuluh karakteristik di atas kita dapat menyimpulkan bahwa hal ini sedang berlangsung di zaman ini di negeri kita. Selain sepuluh tanda-tanda jaman tersebut, masalah lain yang tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah sistem pendidikan dini yang ada sekarang ini terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa).



Padahal, pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan pendidikan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”). Coba saja perhatikan berbagai ulangan dan test yang diadakan di sekolah-sekolah, mayoritas persentase dari soal-soal tersebut hanya menyangkut kepada ingatan secara kognitif.



Pembentukan karakter harus dilakukan dengan sistematis dan berkesinambungan yang melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan acting”. Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat.



Pendidikan karakter ini hendaknya dilakukan sejak usia dini, karena usia dini merupakan masa emas perkembangan (golden age) yang keberhasilannya sangat menentukan kualitas anak di masa dewasanya. Montessori menyebutnya dengan periode kepekaan (sensitive period). Penggunaan istilah ini bukan tanpa alasan, mengingat pada masa ini, seluruh aspek perkembangan pada anak usia dini, memang memasuki tahap atau periode yang sangat peka.



Artinya, jika tahap ini mampu dioptimalkan dengan memberikan berbagai stimulasi yang produktif, maka perkembangan anak di masa dewasa, juga akan berlangsung secara produktif. Menurut Freud kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak.



Ada dua lembaga yang secara sistematis dan juga terencana dapat melakukan pembentukan karakter, yang pertama keluarga dan yang kedua gereja. Dalam rangka membentuk karakter-karakter tersebut, maka jika kita perhatikan, maka dapat dijabarkan sebagai berikut: Peran keluarga dalam pembentukan karakter, sangat prinsipil. Hal ini dapat kita analisa berdasarkan letak duduk bahwa anak dibesarkan dalam keluarga.



Keluarga dalam hal ini adalah aktor yang sangat menentukan terhadap masa depan perkembangan anak. Dari pihak keluarga perkembangan pendidikan sudah dimulai semenjak masih dalam kandungan. Anak yang belum lahir sebenarnya sudah bisa menangkap dan merespons apa-apa yangdikerjakan oleh orang tuanya, terutama kaum ibu.



Dalam rangka membentuk karakter anak-anak di keluarga, maka hal-hal yang perlu diperhatikan ialah bagaimana pola asuh anak-anak dalam keluarga, tumbuh kembang mereka apakah dalam kondisi yang positif atau tidak. Dalam konteks keluarga Kristen, maka pola asuh dan bimbingan dari orang tua berdasarkan kasih, ajaran firman Tuhan akan sangat bermanfaat dalam menumbuhkan dan membentuk karakter anak-anak mereka.



Dalam iman kita, firman Tuhan yang diajarkan para orangtua, dan juga yang dihidupi orang tua akan membawa anak-anak kepada pembentukan sikap, perilaku dan karakter yang sesuai dengan kehendak dari Tuhan.



Dalam kitab Ulangan 6:4-9 ada tugas dan mandate kepada keluarga untuk mengajarkan firman Tuhan secara berulang-ulang kepada anak-anak, ketika mereka sedang berada di rumah, perjalanan, di tempat tidur, dll. Intinya bahwa segala keadaan dapat digunakan untuk mendidik,mengajar dan membentuk kebiasaan-kebiasaan baik pada anak-anak. Upaya ini diharapkan menghasilkan karakter yang baik pula.



Menurut pakar pendidikan, William Bennett keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan. Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya.



Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya.



Selain institusi keluarga, maka gereja juga adalah lembaga yang diberikan tugas oleh Tuhan mendidik setiap umat. Umat Tuhan dalam gereja (jemaat) adalah semua orang yang tergabung daam gereja menjadi warga gereja termasuk mereka yang berusia anak-anak.



Kelompok anak-anak memiliki wadah untuk berkumpul yang disebut ibadah anak-anak (Di Indonesia lazim disebut dengan Sekolah Minggu). Kegiatan dalam ibadah anak-anak bukan hanya merujuk kepada ibadah dimana ada nyanyian dan doa serta pemberitaan firman Tuhan. Namun juga diperuntukkan untuk “wadah” pembinaan dan juga pembentukan karakter anak-anak.



Gereja melalui para pelayan Tuhan, secara khusus guru-guru Sekolah Minggu, hendaknya melakukan tugas pembinaan karakter berdasarkan firman Tuhan. Mereka-mereka yang diberi tugas sebagai pelayan, mau tidak mau harus menekankan betapa pentingnya kehadiran gereja dalam membina dan membentuk kebiasaan anak-anak (dalam hal sikap, karakter).



Gereja bertanggung jawab untuk melakukan pembinaan karakter, dan tugas ini adalah tanggung jawab yang diberikan Tuhan kepada para hamba-hambaNya. Jika gereja melakukan tugas ini dengan penuh tanggung jawab dan juga penuh pengabdian, maka sangat besar peluang untuk melihat generasi ke depan hidup dalam standart dan juga tata nilai yang memuliakan Tuhan.



Mengembangkan generasi muda (masa depan bangsa, negara dan gereja), harus diawali dengan melakukan pembenahan dalam berbagai hal. Secara khusus pembenahan dan pembentukan karakter, tugas ini bukanlah tugas sesaat melainkan dilakukan secara kontiniu. Upaya bersama gereja dan keluarga akan membawa hasil yang berdampak positif menghasilkan generasi dengan pribadi-pribadi yang unggul dan berlandaskan pada nilai firman Tuhan. [Pdt. Dr. Purim Marbun-Ketua Dep. Diklat BPH GBI].